Thursday, August 6, 2015

Istana di Gergaji

 Rumah Oei Tiong Ham
Lain daripada kedua peristiwa itu dalam lembaran sejarah Semarang Oei Tiong Ham juga tercatat merupakan orang Tionghoa yang pertama di kota Semarang yang telah berhasil mendapatkan izin untuk tertempat tinggal di daerah Gergaji,yang pada masanya merupakan sebuah tempat pemukiman untuk orang-orang Eropah, sementara berdasarkas 'wijkenstelsel" sebagai seorang Tionghoa ia seharusnya bertempat tinggal di Pecinan dan tidak boleh di tempat lain!

Sekalipun oleh    ayahnya telah  diberi  pendidikan mengenai  ajaran  penghematan, berbeda benar dengan mendiang ayahnya sendiri Oei Tiong Ham hidup dengan mewah sekali. Istananya di Gergaji   misalnya,   tidak  hanya megah dan luas    dan dibangun dengan langgam bangunan Belanda, namun juga di sertai  dengan sebuah petamanan yang luas lagi indah komplit disertai dengan se­buah kebun binatang pribadi di mana dipelihara berbagai macam binatang seperti beruang, ular, burung merak dan burung  kasuwari,  kera dan menjangan. Kebun binatang peribadi itu tiap pekan sekali dibuka untuk umum dengan karcis masuk yang murah harganya dan di kalangan masyarakat Semarang sangat terkenal sebagai suatu tempat rekreasi yang termasyhur dengan nama  julukannya  ”Kebon Rojo".

Kemewahan- hidupnya lebih-lebih lagi Nampak sekali dengan cara yang sangat menyolok dalam cara-cara kehidupannya sehari-hari. Mengenai hal ini Ny. Wellington Koo dalam auto biorgraphinya menulis diantaranya bahwa.

"Ayah — katanya— menghargai kehidupan yang baik dan menikmati kesenangan dalam adat kebiasaan yang sangat baik, hingga rumah kami dibangun dengan ukuran yang tidak biasa pernah terdapat di pulau Jawa, di mana gaji para buruh mu­rah adanya dan pelayan-pelayanpun mudah dilatih.

Kepala rumah tangga ayah adalah seorang Melayu yang membawahi 40 orang pelayan. Langsung di bawahnya terdapat seorang mandor bujang bangsa Me layu pula yang membawahi 16 orang pelayan. Mereka sangat cakap dalam mengatur meja makan dengan parlentenya yang anggun dan bergaya.

Penyediaan  makan bagi ayah saya merupakan tugas yang sukar, karena ia merupakan seorang yang sangat doyan makan. Pada suatu malam ia bisa memerlukan untuk menyediakan masakan Tionghoa dan pada malam berikutnya bisa pula memerlukan suatu serial masakan Perancis.

Untuk memuaskan keinginannya ada tiga buah dapur yang berasap secara serentak. Dapur yang satu menyediakan masakan-masakan Tionghoa, yang lain masakan masakan Eropah sementara dapur yang ketiga hampir seluruhnya digunakan untuk mempersiapkan keinginannya yang istimewa dan terus menerus untuk menciptakan antaran makanan yang lezat-lezat guna disajikan pada para pejabat pemerintah Belanda.

Di dapur-dapur itu ada empat  koki Tionghoa dan seorang juru masak kepala bangsa Melayu yang mempunyai kecakapan dalam cara memasak ala Perancis. Ia adalah seorang seniman yang sangat bagus yang telah berhasil membuat reputasi di restoran Belanda dan sebelumnya juga pernah bekerja sebagai juru masak kepala untuk kepentingan Gubernur Jendral Belanda di Betawi pula.

Tiga buah dapur itu masing-masing tegak berdiri sebagai suatu kesatuan yang saling terpisah. Masing-masing dapur itu memiliki juru masaknya masing-masing lengkap dengan staffnya. Mereka melakukan perbelanjaan sendiri dan hanya bertanggung jawab kepada kepala rumah tangga, yang tiap minggu sekali melakukan pengecekan atasnya.

Baik istana maupun halaman istana Oei Tiong Ham yang terletak di Gergaji pada waktu itu dengan sengaja telah diserahkan pengawasannya pada empat orang penjaga khusus. Dan keempat orang itu bukannya orang Tionghoa, orang Jawa maupun orang orang Melayu, namun keempat orang penjaga itu justru adalah orang Ne­gro yang berasal dari Afrika dan hanya sedikit saja yang bisa berbahasa Mela­yu. Orang Jawa di Semarang pada waktu itu banyak yang menjulukinya dengan nama olok-olok, seba­gai "Londo Ireng".

No comments:

Post a Comment