Rumah Oei Tiong Ham
Lain daripada kedua peristiwa itu dalam lembaran sejarah Semarang
Oei Tiong Ham juga tercatat merupakan orang Tionghoa yang pertama di kota
Semarang yang telah berhasil mendapatkan izin untuk tertempat tinggal di daerah
Gergaji,yang pada masanya merupakan sebuah tempat pemukiman untuk orang-orang
Eropah, sementara berdasarkas 'wijkenstelsel" sebagai seorang Tionghoa ia
seharusnya bertempat tinggal di Pecinan dan tidak boleh di tempat lain!
Sekalipun oleh ayahnya
telah diberi pendidikan mengenai ajaran
penghematan, berbeda benar dengan mendiang ayahnya sendiri Oei Tiong Ham
hidup dengan mewah sekali. Istananya di Gergaji misalnya,
tidak hanya megah dan luas dan dibangun dengan langgam bangunan
Belanda, namun juga di sertai dengan
sebuah petamanan yang luas lagi indah komplit disertai dengan sebuah kebun
binatang pribadi di mana dipelihara berbagai macam binatang seperti beruang,
ular, burung merak dan burung kasuwari, kera dan menjangan. Kebun binatang peribadi
itu tiap pekan sekali dibuka untuk umum dengan karcis masuk yang murah harganya
dan di kalangan masyarakat Semarang sangat terkenal sebagai suatu tempat
rekreasi yang termasyhur dengan nama
julukannya ”Kebon Rojo".
Kemewahan- hidupnya lebih-lebih lagi Nampak sekali dengan cara yang
sangat menyolok dalam cara-cara kehidupannya sehari-hari. Mengenai hal ini Ny.
Wellington Koo dalam auto biorgraphinya menulis diantaranya bahwa.
"Ayah — katanya— menghargai kehidupan yang baik dan menikmati kesenangan
dalam adat kebiasaan yang sangat baik, hingga rumah kami dibangun dengan ukuran
yang tidak biasa pernah terdapat di pulau Jawa, di mana gaji para buruh murah
adanya dan pelayan-pelayanpun mudah dilatih.
Kepala rumah tangga ayah adalah seorang Melayu yang membawahi 40 orang
pelayan. Langsung di bawahnya terdapat seorang mandor bujang bangsa Me layu
pula yang membawahi 16 orang pelayan. Mereka sangat cakap dalam mengatur meja
makan dengan parlentenya yang anggun dan bergaya.
Penyediaan makan bagi ayah
saya merupakan tugas yang sukar, karena ia merupakan seorang yang sangat doyan
makan. Pada suatu malam
ia bisa memerlukan untuk menyediakan masakan Tionghoa dan pada malam berikutnya
bisa pula memerlukan suatu serial masakan Perancis.
Untuk memuaskan keinginannya ada tiga buah dapur yang berasap
secara serentak. Dapur yang satu menyediakan masakan-masakan Tionghoa, yang
lain masakan masakan Eropah sementara dapur yang ketiga hampir seluruhnya
digunakan untuk mempersiapkan keinginannya yang istimewa dan terus menerus
untuk menciptakan antaran makanan yang lezat-lezat guna disajikan pada para
pejabat pemerintah Belanda.
Di dapur-dapur itu ada empat
koki Tionghoa dan seorang juru masak kepala bangsa Melayu yang mempunyai
kecakapan dalam cara memasak ala Perancis. Ia adalah seorang seniman yang
sangat bagus yang telah berhasil membuat reputasi di restoran Belanda dan
sebelumnya juga pernah bekerja sebagai juru masak kepala untuk kepentingan
Gubernur Jendral Belanda di Betawi pula.
Tiga buah dapur itu masing-masing tegak berdiri sebagai suatu
kesatuan yang saling terpisah. Masing-masing dapur itu memiliki juru masaknya
masing-masing lengkap dengan staffnya. Mereka melakukan perbelanjaan sendiri
dan hanya bertanggung jawab kepada kepala rumah tangga, yang tiap minggu sekali
melakukan pengecekan atasnya.
Baik istana maupun halaman istana Oei Tiong Ham yang terletak di
Gergaji pada waktu itu dengan sengaja telah diserahkan pengawasannya pada empat
orang penjaga khusus. Dan keempat orang itu bukannya orang Tionghoa, orang Jawa
maupun orang orang Melayu, namun keempat orang penjaga itu justru adalah orang
Negro yang berasal dari Afrika dan hanya sedikit saja yang bisa berbahasa Melayu.
Orang Jawa di Semarang pada waktu itu banyak yang menjulukinya dengan nama olok-olok,
sebagai "Londo Ireng".
No comments:
Post a Comment