Thursday, August 6, 2015

Simongan

 Nyonya Oei Tjie Sien

Menurut penuturan saudara Lie Hoo Soen, eks kuasa bagian persewaan tanah dan rumah-rumah (Grond & Huizenbedrijft) dari Oei Tiong Ham Concern, ketika usaha dagang Oei Tjie Sien belum maju besar, ia pernah mengeluarkan pernyataan, jika ke-lak kemudian hari ia mendapat keuntungan, maka ia akan membeli tanah Simongan yang pada waktu itu menjadi dimiliki oleh seorang Yahudi yang mata duitan. Orang Yahudi itu memungut biaya (tol) pada orang-orang Tionghoa yang hendak berziarah di klenteng Sam Poo Tong di Gedung Batu. Tindakan tersebut menimbulkan rasa tidak senang dalam diri Oei Tjie Sien.

Penuturan tersebut di atas sama dengan apa yang tertulis di "Sam Poo Fondsblad" tertanggal I Sie Gwee 2489 atau 30 April 1938, di sana tertulis mengenai cengkeraman si orang Yahudi terhadap pengunjung-pengunjung klenteng Sam Poo Tong. Orang-orang Tionghoa pengunjung klenteng tersebut diwajib-kan mengumpulkan 500 rupiah sebagai uang pajak setiap tahun, dan tiap-tiap kendaraan yang datang di Gedung Batu dipungut 50 sen. Jika uang pajak 500 rupiah tidak dibayar penuh, maka orang-orang Tionghoa tidak dapat mengarak Sam Poo Kong-chouw masuk ke persil Simongan dari klenteng Tay Kak Sie Gang Lombok, Pekojan. Menurut cerita orang-orang tua, pernah terjadi satu kali, bahwa batas jalan menuju ke Sam Poo Tong tertutup dengan bamboo sewaktu arak-arakan tiba di tapal batas tanah orang Yahudi itu, karena uang pajak 500 rupiah belum dilunasi.

Pepatah kuno mengatakan: "bilamana seorang memiliki angan-angan dan batin yang becik, maka maksud dan tujuan angan-angan itu pasti terkabul." Demikianlah kira-kira pada ta­hun 1878, ketika Mayor Oei Tiong Ham masih jadi bocah umur 12 tahun, tanah Simongan telah menjadi milik Oei Tjie Sien, karena dibeli dari orang Yahudi itu. Dengan dibelinya tanah tersebut, maka bebaslah pula orang-orang Tionghoa yang akan berkunjung ke klenteng Gedung Batu. Oei Tjie Sien lalu menem-pati gedung (landhuis) yang semula ditempati orang Yahudi itu.

Oei Tjie Sien meninggal dunia di Landhuis Penggiling (dae-rah Simongan) pada kira-kira tahun 1900 atau sesudah 42 tahun menetap di Semarang. la menutup mata untuk selamanya da-lam usia 65 tahun (1835-1900). Perhitungan ini didasarkan ketika Oei Tjie Sien memasuki Semarang pada tahun 1858, pada waktu ia berusia 23 tahun. Saat ditinggalkan ayahnya, Oei Tiong Ham sudah berusia 34 tahun (1866-1900), satu batas usia yang sudah cukup matang untuk menentukan nasib sendiri.

No comments:

Post a Comment