Nyonya Oei Tjie Sien
Menurut
penuturan saudara Lie Hoo Soen, eks kuasa bagian persewaan tanah dan
rumah-rumah (Grond & Huizenbedrijft) dari Oei Tiong Ham Concern,
ketika usaha dagang Oei Tjie Sien belum maju besar, ia pernah mengeluarkan
pernyataan, jika ke-lak kemudian hari ia mendapat keuntungan, maka ia akan membeli
tanah Simongan yang pada waktu itu menjadi dimiliki oleh seorang Yahudi yang
mata duitan. Orang Yahudi itu memungut biaya (tol) pada orang-orang
Tionghoa yang hendak berziarah di klenteng Sam Poo
Tong di Gedung Batu. Tindakan tersebut menimbulkan rasa tidak senang dalam diri
Oei Tjie Sien.
Penuturan
tersebut di atas sama dengan apa yang tertulis di "Sam Poo Fondsblad" tertanggal I Sie Gwee 2489 atau 30
April 1938, di sana tertulis mengenai cengkeraman si orang Yahudi terhadap
pengunjung-pengunjung klenteng Sam Poo Tong. Orang-orang Tionghoa pengunjung
klenteng tersebut diwajib-kan mengumpulkan 500 rupiah sebagai uang pajak setiap
tahun, dan tiap-tiap kendaraan yang datang di Gedung Batu dipungut 50 sen. Jika
uang pajak 500 rupiah tidak dibayar penuh, maka orang-orang Tionghoa tidak
dapat mengarak Sam Poo Kong-chouw masuk ke persil Simongan dari klenteng Tay
Kak Sie Gang Lombok, Pekojan. Menurut cerita orang-orang tua, pernah terjadi
satu kali, bahwa batas jalan menuju ke Sam Poo Tong tertutup dengan bamboo
sewaktu arak-arakan tiba di tapal batas tanah orang Yahudi itu, karena uang
pajak 500 rupiah belum dilunasi.
Pepatah kuno
mengatakan: "bilamana seorang memiliki angan-angan dan batin yang becik,
maka maksud dan tujuan angan-angan itu pasti terkabul." Demikianlah
kira-kira pada tahun 1878, ketika Mayor Oei Tiong Ham masih jadi bocah umur 12
tahun, tanah Simongan telah menjadi milik Oei Tjie Sien, karena dibeli dari
orang Yahudi itu. Dengan dibelinya tanah tersebut, maka bebaslah pula
orang-orang Tionghoa yang akan berkunjung ke klenteng Gedung Batu. Oei Tjie
Sien lalu menem-pati gedung (landhuis) yang semula ditempati orang
Yahudi itu.
Oei Tjie
Sien meninggal dunia di Landhuis Penggiling (dae-rah Simongan) pada
kira-kira tahun 1900 atau sesudah 42 tahun menetap di Semarang. la menutup mata
untuk selamanya da-lam usia 65 tahun (1835-1900). Perhitungan ini didasarkan ketika
Oei Tjie Sien memasuki Semarang pada tahun 1858, pada waktu ia berusia 23
tahun. Saat ditinggalkan ayahnya, Oei Tiong Ham sudah berusia 34 tahun
(1866-1900), satu batas usia yang sudah cukup matang untuk menentukan nasib
sendiri.
No comments:
Post a Comment